BAB III
Taubat dan Raja
A. TOBAT
Pengertian Tobat Kata
taubat berasal dari bahasa Arab at-taubah, yang kata kerjanya taaba, yatuubu
yang berarti rujuk atau kembali. Menurut istilah yang dikemukakan ulama,
pengertian taubat ialah : 1). Kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan atau
kembali dari jalan yang jauh dari Allah kepada jalan yang lebih dekat kepada
Allah. 2). Membersihkan hati dari segala dosa 3). Meninggalkan keinginan untuk
melakukan kejahatan, seperti yang pernah dilakukan dengan mengagungkan nama
Allah dan menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya. Hukum bertaubat adalah wajib bagi
setiap muslim atau muslimah yang sudah mukallaf (balig dan berakal). Allah SWT
berfirman : “ ... dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur ; 31)
B. Syarat Bertaubat
Taubat baru dianggap
sah dan dapat menghapus dosa apabila telah memenuhi syarat yang telah
ditentukan. Bila dosa itu terhadap Allah SWT, maka ayat taubatnya ada tiga
macam, yaitu: 1) Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat
(nadam). 2) Meninggalkan perbuatan maksiat itu. 3) Bertekad dan berjanji dengan
sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan maksiat itu Namun, bila
dosanya terhadap sesama manusia, maka syarat taubatnya selain yang tiga macam
tersebut ditambah dengan dua syarat lagi yaitu: 1) Meminta maaf terhadap orang
yang telah dizalimi (dianiaya) atau dirugikan. 2) Mengganti kerugian setimbang
dengan kerugian yang dialaminya, akibat perbuatan zalim itu atau minta
kerelaannya. Dosa terhadap sesama manusia akibat perbuatan zalim itu hendaknya
diselesaikan di dunia ini juga. Karena kalau tidak, pelaku dosanya di akhirat
termasuk orang yang merugi bahkan celaka. Apabila seseorang telah terlanjur
bertaubat dosa, kemudian bertaubat dengan sebenar-benarnya, tentu ia akan
memperoleh banyak hikmah dan manfaat. Tentu saja taubat yang dilakukan harus
memenuhi syarat-syarat taubat seperti tersebut. Adapun hikmah dan manfaat yang
di peroleh dari pertaubatan itu antara lain: dosanya diampuni, memperoleh
rahmat Allah, dan bimbingan untuk masuk surga. Terkait dengan taubat ini Allah
SWT berfirman: Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, bertubatlah kepada
Allah dengan taubat semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu kedalam surga.” (Q.S.At-Tahrim,66: 8)
Perlu pula diketahui dan disadari oleh setiap orang yang telah terlanjur
berbuat dosa, bahwa seorang yang membaca istigfar (mohon ampunan dosa kepada
Alloh), tetapi terus menerus berbuat doasa, maka ia akan dianggap telah
mengolok-olok Tuhannya. Demikian juga seorang yang berbuat dosa, dan baru
bertaubat ketika “sakratul maut” (nyawanya yang sudah berada di tenggorokan)
maka taubatnya tidak akan diterima Allah. Selain pelaku dosa itu harus
betul-betul meninggalkan perbuatan dosanya (taubt nasuha), hendaknya ia juga
terus-menerus melakukan perbuatan baik yang diridai Allah SWT. Allah berfirman:
Artinya : “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
perbuatan yang buruk (dosa) “ (Q.S. Huud, 11:114) II.
C. RAJA’
Pengertian Raja’ Kata
Raja () berasal dari bahasa arab yang artinya harapan. Yang dimaksud raja’ pada
pembahasan ini ialah mengharapkan keridaan Allah SWT dan rahmat-Nya. Rahmat
adalah segala karunia Allah SWT yang mendatangkan manfaat dan nikmat. Raja’
termasuk akhlakul karimah terhadap Allah SWT, yang manfaatnya dapat mempertebal
iman dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Muslim (muslimah) yang mengharapkan
ampunan Allah, berarti ia mengakui bahwa Allah itu Maha Pengampun. Muslim
(Muslimah) yang mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, berarti ia menyakini bahwa Allah itu Maha pengasih dan Maha Penyayang.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap muslim (muslimah) senantiasa berharap
memperoleh rida dan rahmat Allah, sebagai bukti penghambaan kepada-Nya. Allah
SWT telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar banyak berdoa
kepada Allah SWT, dengan berharap Allah SWT akan mengabulkan doanya. Allah SWT
berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu...
(Q.S.Al-Mu’min, 40:60)
Kebalikan
dari sifat raja’ ialah berputus harapan terhadap rida dan rahmat Allah SWT.
Orang berputus harapan terhadap Allah, berarti ia berprasangka buruk kepada
Allah SWT. Yang hukumanya haram dan merupakan ciri dari orang kafir. Allah SWT
berfirman: Artinya: “Dan jangan kamu berputus harapan terhadap rahmat Allah,
sesungguhnya tidak berputus harapan terhadap rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir.” (Q.S.Yusuf, 12: 87) Seseorang yang berharap memperoleh rida dan rahmat
Allah SWT, bahagia di dunia dan akhirat tentu harus berusaha dengan melakukan
perbuatan-perbutan yang menyebabkan apa yang diharapkannya itu terwujud. Jika
ia hanya berharap saja dan tidak mau berusaha itu namanya berangan-angan kosong
atau berkhayal yang dalam bahasa arabnya disebut tamanni. Seseorang muslim yang
mengharapkan rida Allah SWT, tentu harus berusaha dengan jalan betul-betul
bertakwa pada Allah, sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Allah berfirman yang artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
(Q.S.Al-Ahzab, 33: 21) Muslim/muslimah yang bersifat raja’ tentu dalam hidupnya
akan bersikap Optimis,dinamis,berfikir kritis, dan mengenal diri dalam
mengharap keridaan Allah SWT, berikut adalah penjelasan ringkas tentang hal
tesebut: 1. Optimis Dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan)
baik dalam menghadapi segala hal atau persoalan. Optimis termasuk sifat
terpuji. Sifat optimis seharusnya dimiliki oleh setiap muslim (muslimah).
Seorang muslim (muslimah) yang optimis tentu akan berprasangka baik terhadap
Allah. Ia kan selalu berusaha agar kualitas hidupnya meningkat. Kebalikan dari
sifat optimis ialah sifat pesimistis. Sifat pesimistis ini seharusnya dijauhi,
karena termasuk dalam sifat tercela. Seseorang yang pesimis dapat di artikan
berprasangka buruk kepada Allah. Ia dalam hidupnya kemungkinan besar tidak akan
memperoleh kemajuan. Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan
memperoleh kegagalan, kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau
berusaha untuk mencobanya. Muslim (muslimah) yang bersifat optimistis hendaknya
bertawakkal kepada Allah SWT yaitu berusaha sekuat tenaga untuk meraih apa yang
dicita-citakannya, sedangkan hasilnya diserahkan kapada Allah SWT. Orang yang
tawakkal tentu akan memperoleh pertolongan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman
: Artinya: “Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S.Ath-Thalaq, 65: 3) 2. Dinamis Kata dinamis
berasal dari bahasa belanda dynamisch yang berarti giat bekerja, tidak mau
tinggal diam, selalu bergerak, terus tumbuh. Seseorang yang berjiwa dinamis,
tentu selama hidupnya, tidak akan diam berpangku tangan. Dia akan terus
berusaha secara sungguh-sungguh, untuk meningkatkan kualitas dirinya ke arah
yang lebih baik dan lebih maju. Misalnya : · Seorang petani akan berusaha agar
hasil pertaniannya meningkat. · Seorang pedagang akan terus berusaha agar usaha
dagangnya berkembang. · Seorang pelajar akan meningkatkan kegiatan belajaranya
supaya ilmuanya betambah. Sikap pelaku dinamis seperti itu sebenarnya sesuai
dengan fitrah (pembawaan) manusia, yang memiliki kecenderungan untuk meningkat
ke arah yang lebih baik. Allah SWT berfirman: Artinya : “Sesungguhnya kamu
melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),” (Q.S.Al-Insyiqaq, 84:19)
Mengacu kepada pengertian dinamis tersebut, jelas bahwa sikap dinamis termasuk
akhlakul karimah, yang seyogyanya dimiliki dan di amalkan oleh setiap muslim
(muslimah). Seorang muslim (muslimah) yang sudah meraih prestasi baik dalam
bidang positif seperti dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang
pertanian dan perdagangan serta dalam bidang ekonomi dan industri, hendaknya
berusaha terus meningkatkan prestasinya ke arah yang lebih baik lagi. Hal itu
sesuai dengan suruhan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan anjuran Rasulullah SAW
dalam haditsnya. Allah SWT berfirman. Artinya : “Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S.Al-Insyirah, 94:
7-8) Juga Rasulullah SAW bersabda yang artinya:” barang siapa yang amal
usahanya lebih baik dari kemarin maka orang itu termasuk orang yang beruntung,
dan jika amal usahanya sama dengan kemarin, termasuk yang merugi, dan jika amal
usahanya lebih buruk dari yang kemarin, maka orang itu termasuk yang tercela”.
(H.R. Tabrany) Kebalikan dari sifat dinamis adalah sifat statis. Sifat statis
seharusnya dijauhi karena termasuk akhlak tercela yang dapat menghambat
kemajuan dan mendatngkan kerugian. Seorang siswa/siswi yang berperilaku statis
biasanya malas belajar dan tidak bergairah untuk menuntut ilmu yang lebih
tinggi. Hal ini menyebabkan siswa/siswi tersebut kuallitas ilmunya tidak
meningkat, sehingga ia tergolong orang yang merugi bahkan tercela. 3 Berpikir Kritis
Dalam kamus bersar bahasa indonesia di jelaskan, bahwa perpikir krtitis itu
artinya tajam dalam penganalisaan. Bersifat tidak lekas percaya, dan sifat
terlalu berusaha menemukan kelasalahan, kekeliruan atau kekurangan. Orang yang
ahli memberi kjritik atau memperikan pertimbangan apakah sesuatu itu benar atau
salah, tepat atau keliru, sudah lngkap atau masih kurang disebut seorang
kritikus. Kritik itu ada dua macam yaitu, yang termasuk akhlak terpuji dan yang
tercela. Kritik yang termasuk akhlak terpuji adalah kritik yang sehat, yang
didasari dengan niat ikhlas karena Allah SWT, tidak menggunakan kata-kata pedas
yang menyakitkan hati, dan dengan maksud untuk memberi pertolongan kepada orang
yang dikritik agar menyadari kesalahannya, kekeliruannya, dan kekurangan,
disertai dengan memberikan petinjuk tantang jalur keluar dari kesalahan,
kekeliruan dan kekurangan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“yang dinamakan orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang-orang muslim
lainnya dari gangguan lidah dan tangannya, sedang yang dinamakan orang yang
hijrah itu adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah”
(H.R.Bukhari,Abu Dawud dan Nasa’iy) Kritik yang sehat, seperti tersebut
sebenarnya termasuk ke dalam tolong menolong yang di perintahkan Allah SWT
untuk dilaksenakan. Allah SWT berfirman yang artinya : “ dan bertolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebijakan dan takwa dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maa-idah, 5:2) Kritik
yang termasuk akhlak tercela adalah kritik yang merusak, yang tidak didasari
niat ikhlas karena Allah SWT, dengan menggunakan kata-kata keji yang
menyakitkan hati dan tidak disertai memberi petunjuk tentang jalur keluar dari
kesalahan, kekeliruan, dan kekurangan. Kritik mcam ini termasuk akhlak tercela
karena dapat merusak hubungan antara yang mengkritik dan yang dikritik,
sehingga antara mereka saling bermusuhan dan saling dengki, yang sangat
dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “ janganlah kamu
berdengki-dengkian, jangan putus memutuskan persaudaraan, jangan
benci-membenci, jangan pula belakang membelakangi, dan jadilah kamu hamba Allah
yang bersaudara, sebagaimana telah di perintahkan Allah kepadamu.” (H.R.Bukhari
dan Muslim) 4. Mengenali Diri Dengan Mengharap Keridaan Allah SWT Salah satu
cara dalam mengharap keridaan Allah SWT ialah berusaha mengenali diri sendiri.
Hal ini sesuai dengan pepatah yang terkenal di kalangan tasawuf: “Barang siapa
yang mengenal dirinya tentu akan mengenal Tuhannya.” Mukmin yang mengenali
dirinya, tentu akan menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Allah, yang harus
selalu tunduk pada ketentuan-ketentuan-Nya (sunnatullah). Termasuk ke dalam
sunatullah antara lain ia pernah berada di dalam kandungan ibunya, selama
kurang lebih 9 bulan, lalu ia lahir ke dunia dalam keadaan bayi, kemudian
berproses menjadi balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya
meninggal dunia. Apakah setelah meninggal dunia kehidupan seorang manusia
berakhir? Seorang mukmin akan menjawab mantap penuh keyakinian bahwa meninggal
dunia bukan akhir kehidupan, karena setelah itu manusia akan terus hidup di
alam Barzah (Kubur) dan alalu di dalam akhirat. Mukmin yang mengenali dirinya
akan menyadari bahwa ia hidup karena Allah dan bertujuan untuk memperoleh
keridaan Allah. Mukmin yang ketika di dunianya memperoleh kerdiaan Allah, tentu
di alam kubur dan alam akhiratpun akan memperoleh rida Allah SWT, ia akan
terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dan akan mendapatkan nikmat kubur
serta pahala surga. Seorang mukmin akan memperoleh rida Allah SWT, apabila
semasa hidupnya di alam dunia betul-betul berada di jalan yang diridai Allah
SWT, yakni betul-betul menghambakan dirinya hanya kepada-Nya dengan cara
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Hal
ini sesuai dengan maksud dan tujuan diciptakannya umat manusia yakni
semata-mata untuk menghambakan diri pada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat,51: 56) Mukmin yang mengenali dirinya
di mana pun dan kapan pun, tentu akan selalu mengadakan instropeksi apakah
dirinya sudah betul-betul menghambakan dirinya kepada AllahSWT? Kalau sudah,
bersyukurlah dan tingkatkan kualitasnya. Kalau belum, kembalilah ke jalan yang
diridai Allah SWT dengan jalan beul-betul bertakwa kepada-Nya. Mukmin yang
selama hidupnya selalu berada di jalan yang diridhoi Allah SWT dan tatkala
meninggal dunia dalam keadaan bertakwa tentu nyawanya akan di cabut oleh
malaikat Izrail dengan sikap ramah dan tidak menyakitan bahkan akan
dipersilahkan pindah hidupnya dari alam dunia ke alam Barzah dan dimasukan ke
dalam golongan hamba-hamba Allah yang diridai-Nya serta memperoleh pahala
surga. Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai jiwa yang tenang (nafsu
mutamainnah) kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya,
maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam suraga-Ku.”
(Q.S. Al-Fajr, 89:27-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar